Mengurai Benang Kusut Pelecehan Seksual di Ruang Publik

Mengurai Benang Kusut Pelecehan Seksual di Ruang Publik

Pelecehan seksual tak hanya terjadi di balik tirai-tirai atau ruang tertutup. Pelecehan justru terjadi secara masif di tempat-tempat umum. Yang memprihatinkan, korban kerap tak punya kekuatan untuk melawan, atau keberanian melaporkan. Padahal, ini penting untuk memutus rantai pelecehan, terutama yang terjadi di ruang publik.

Riset yang dilakukan Hollaback Jakarta pada 2018 terhadap 62.000 orang mendapati, penjahat seksual tak hanya melakukan aksinya malam hari di ruang tertutup. Mereka tak segan melancarkan aksi pada siang hari di tempat umum.

Pelecehan seksual juga tak hanya dialami perempuan, tetapi juga laki-laki. Namun, perempuan jelas lebih rentan mengalami hal ini. Survei global yang dilakukan L’Oreal Paris dengan IPSOS pada Januari 2021 mengungkap bahwa satu di antara tiga perempuan masih mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Sedangkan di dalam negeri, Komnas Perempuan yang mencatat sampai 3 Juli 2021 terjadi 1.902 kasus pelecehan seksual, yang terjadi di ruang publik nyata juga di dunia maya.

Sebagai contoh, kejadian nahas pernah menimpa seorang artis Tiktoker asal Pakistan, Ayesha Akram. Di sebuah taman monumen nasional di Lahore, dia dikerubuti massa pria yang melecehkan dirinya.

Ketika itu, Ayesha sedang  memfilmkan orang-orang yang merayakan Hari Kemerdekaan Pakistan pada siang hari 14 Agustus 2021 lalu. Kemudian, sekelompok pria mendekatinya untuk mengambil foto narsis.

Mengejutkan, apa yang terjadi selanjutnya merupakan serangan yang mengerikan. Para pria itu menyerang Ayesha hingga merobek pakaiannya. Dia menceritakan bahwa dirinya bingung ketika orang-orang tersebut mulai menyiksa dan membelainya.

Ketika mencoba melarikan diri, dia malah diangkat dari tanah dan dilempari benda-benda. Seluruh bagian tubuh Ayesha pun memar. Kejadian tersebut kini masih diinvestigasi oleh pihak berwajib.

Di Indonesia, belum lama ini pelecehan seksual terjadi di KRL KA 1452 gerbong umum yang melaju dari Stasiun Manggarai Jakarta ke Cikarang Bekasi. Pelecehan seksual terjadi di stasiun Jatinegara pada Jumat petang, 4 Juni 2021.

Ketika itu, korban yang disembunyikan identitasnya sedang dalam perjalanan pulang kerja. Dia pun sempat melaporkan kejadian tersebut kepada petugas di Stasiun Jatinegara. Namun, pelaku tidak mengaku dan korban dianggap tidak memiliki cukup bukti.

Kepada media, korban tersebut mengingatkan kepada para perempuan lain untuk lebih waspada lagi dan lebih peduli dengan lingkungan sekitar. Pelecehan seksual, lanjut dia, bisa terjadi kapanpun dan di manapun, bila ada niat dan kesempatan pelaku. Dia juga mendorong agar saksi-saksi harus lebih berani untuk mengadu.

Kejadian tersebut bukan kali pertama, studi yang dilakukan Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019 menunjukkan bahwa hampir 50% penumpang perempuan mengalami pelecehan seksual di transportasi publik.

Selain itu, catatan Komnas Perempuan pada 2021 menunjukkan meski tidak secara spesifik memperlihatkan data di transportasi umum, namun ada 590 kasus kekerasan seksual di ranah publik atau komunitas.

Mengapa ini terjadi?

Menurut Yona dari Hollaback! Jakarta, kejadian pelecehan seksual di ruang publik bisa membuat korbannya trauma. Mereka akan merasa seperti diikuti oleh orang ketika sedang berjalan di tempat umum. Hal ini juga bisa menimbulkan ketakutan.

Karena trauma tadi, lanjut dia, secara sosial dan finansial ruang gerak jadi terbatas. Misalnya, kalau pelecehan yang dialami terjadi di transportasi umum, korban jadi memilih naik kendaraan pribadi yang tentu lebih mahal.

Tak hanya itu, kalau pelecehannya terjadi di kantor, korban cenderung ingin keluar dari pekerjaan tersebut. Bahkan untuk yang masih sekolah, pelecehan seksual juga bisa mendorong siswi bersangkutan untuk tidak masuk sekolah.

Psikolog Dr. Livia Istania DF Iskandar mengatakan, salah satu alasan terjadinya pelecehan seksual di ruang publik adalah adanya budaya patriarki. Budaya ini membuat pelaku pelecehan merasa memiliki wewenang atas aksinya tersebut.

Pendiri Yayasan Pulih dan Wakil Ketua LPSK tersebut juga menekankan bahwa masyarakat tidak boleh menyalahkan korban atas pakaian korban. Sebab faktanya, korban pelecehan seksual dengan pakaian tertutup pun pernah menjadi korban pelecehan seksual.

Tak hanya budaya, aksi tersebut kerap didorong oleh rasa memiliki “wewenang maskulin”. Hal ini terungkap berdasarkan studi yang diterbitkan tahun 2013 “Fear of Violence and Street Harassment: Accountability at The Intersection”.

Dengan merasa memiliki wewenang maskulin ini, para peleceh menganggap pelecehan itu sifat alamiah manusia dan sebagai wujud  ketertarikan seksual yang tak berbahaya. Rasa wewenang maskulin juga membentuk sikap peleceh yang ingin mempermalukan mengontrol, meneror, atau menyerang targetnya.

Apabila korban ingin mengkonfrontasi pelaku pelecehan, Livia menyarankan agar korban pelecehan bertindak tegas. Tatap mata pelaku dan kecam tindakannya dengan suara yang jelas dan keras. Kemudian, katakan apa adanya.

Korban pelecehan seksual juga dapat mendokumentasikan pelaku lewat foto atau video. Dokumentasi berguna agar kamu bisa melaporkan perilaku pelaku pelecehan seksual kepada pihak berwajib.

Selain itu, Livia juga mengingatkan kepada para orang tua untuk memberikan edukasi terkait menghargai lawan jenis pada anak sejak dini, baik itu kepada perempuan maupun laki-laki.

***

Alifia (Anggota Perempuan Indonesia Satu)

Spread the love

Related post