Perlu Tahu! Pernikahan Dini Melanggar Hak Perempuan

Perlu Tahu! Pernikahan Dini Melanggar Hak Perempuan

Ternyata banyak perempuan yang belum memiliki akses sepenuhnya untuk mengambil keputusan terhadap tubuhnya sendiri, salah satunya memutuskan kapan akan menikah atau memiliki anak. Padahal perempuan seharusnya memiliki hak penuh dan hak ini harus dijamin oleh negara.

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), yang ditandatangani pada 1979 dalam konferensi yang diadakan Komisi Kedudukan Perempuan PBB, menyebutkan bahwa perempuan memiliki hak dalam bidang kesehatan.

Artinya, perempuan berhak mendapatkan kesempatan sama untuk melahirkan secara aman. Negara juga berkewajiban menjamin diperolehnya pelayanan kesehatan, khususnya pelayanan KB, kehamilan, persalinan, dan pasca-persalinan. Hak ini berlaku untuk semua perempuan.

Apalagi, Indonesia juga telah mengesahkan konvensi tersebut pada tahun 1984 yang kemudian tertuang dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

Dalam undang-undang tersebut tertulis bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Meski demikian, pada kenyataannya tak semudah itu. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo pernah menyatakan bahwa masih banyak perempuan di dunia yang belum memiliki hak akan tubuhnya. Hampir setengah dari 57 negara berkembang di mana perempuan masih belum bisa menggunakan haknya.

“Bahkan jutaan wanita belum bisa menentukan dirinya mau pakai apa dalam urusan kontrasepsi. Belum merdeka untuk menentukan bahwa keputusan ada pada dirinya untuk mau hamil atau tidak hamil. Belum sepenuhnya memiliki kekuatan apakah dirinya berhak atau belum menikah,” kata Hasto dikutip dari Republika, Jumat (2/7/2021).

Pasalnya otonomi tubuh perempuan sangat berkaitan erat dengan kesehatannya. Hasto mencontohkan ketika perempuan dipaksa menikah pada usia muda, kesehatan mental dan fisik mereka sangat berpotensi terganggu. Hal semacam ini seharusnya tidak boleh terjadi.

Peneliti Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Dian Kartikasari menyampaikan, faktor pendorong perkawinan dini ternyata cukup banyak dan yang paling tinggi adalah faktor sosial sebanyak 28%.

Perempuan kerap terpaksa menikah dini akibat dorongan keluarga atau lingkungan yang melabeli mereka sebagai “perawan tua” atau “tidak laku”, pada usia yang sebenarnya masih terbilang remaja. Hal ini berdampak pada mental anak sehingga mereka tergesa-gesa menikah, padahal secara fisik dan psikologis belum siap.

Child Marriage Report yang disusun oleh Badan Pusat Statistik, Bappenas, dan Unicef menyebutkan bahwa pada tahun 2018 sekitar 1 dari 9 anak perempuan berusia 20-24 tahun menikah sebelum usia 18 tahun. Secara total ada sekitar 1,2 juta anak yang melakukan praktik ini.

Bayangkan pada usia masih belasan mereka harus menanggung beban di luar kesiapan usianya. Apalagi, kehamilan dini juga menjadi penyebab tertinggi kematian ibu saat melahirkan.

Hal tersebut diamini oleh Hasto. Pernikahan usia muda sering kali menimbulkan risiko kematian ibu. Perempuan muda masih memiliki panggul yang sempit sehingga kerap terjadi persalinan yang macet lalu menyebabkan pendarahan. Akhirnya, kematian ibu pun tidak bisa dihindari, yang menyedihkan bila diikuti dengan kematian bayi.

Selain itu, dampak negatif dari pernikahan dini juga berpengaruh terhadap kesehatan reproduksi anak perempuan. Menurut Hasto, hubungan seksual yang terlalu dini bisa menyebabkan masalah kesehatan yang berbahaya seperti kanker mulut rahim.

“Itu kan mereka tidak mengerti bahwa sebetulnya mulut rahim kita masih sangat immature. Kalau mulut rahimnya masih immature, kemudian dilakukan hubungan layaknya suami istri itu kan repot sekali. Dalam hal ini terjadi kanker mulut rahim,” ucap Hasto.

Dari aspek psikologis pun, pasangan dini cenderung belum siap. Mereka seringkali mengedepankan ego masing-masing. Terlebih lagi pasangan muda belum kuat secara ekonomi sehingga menyebabkan perdebatan dalam rumah tangga.

Pada masa pandemi ini, keharmonisan rumah tangga sedang masuk dalam ujian maha berat. Perekonomian yang mandek, layanan kesehatan yang sulit diakses, dan kondisi sosial yang mulai terguncang bisa menimbulkan stress dan menyebabkan keretakan dalam rumah tangga.

BKKBN mencatat sekitar 2,5% dari 20.400 responden yang merupakan pasangan usia subur, menunjukkan mereka mengalami stres dan terjadi cekcok antara suami dan istri selama pandemi.

“Sehingga pertimbangan bahwa kematian ibu dan kematian bayi menjadi indikator derajat kesehatan bangsa belum mendapatkan perhatian khusus. Oleh karenanya, masukan dari para pakar itu sangat penting agar kedepan kita bisa merumuskan kebijakan khusus di masa pandemi ini,” tutur Ketua BKKBN.

***

Kredit visual: jokawinbocah.id

Spread the love

Related post

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *