Hakim PN Jaktim Tolak Lanjutkan Kasus KDRT
Langkah DP untuk mencari keadilan dan membuat suaminya dihukum atas kekerasan yang dilakukannya terhadap DP dan anaknya bisa terhenti. Semua itu karena Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim) menolak permohonan untuk melanjutkan proses hukum kasus tersebut.
DP adalah korban KDRT yang diduga telah berulang kali dilakukan oleh mantan suaminya (HH) dari tahun 2017 sampai tahun 2019. DP akhirnya melapor ke Polsek Pulo Gadung dan mencari bantuan hukum agar suaminya bisa dapat hukuman setimpal.
Hidayatullah Nasution, salah satu pendamping hukum DP dari LBH Apik Jakarta, mengaku kecewa dengan keputusan Hakim PN Jaktim.
Dayat menjelaskan, sebelum mengajukan sidang praperadilan, pihaknya telah menempuh berbagai jalur hukum. Misalnya mengajukan laporan ke Propam atas dugaan pelanggaran kode etik karena tidak menerbitkan laporan polisi atas dua visum yang telah dirujuk penyidik, pengabaian alat bukti dan mandeknya penyidikan di Polres Jaktim.
“Kami cukup kecewa majelis hakim menolak sidang praperadilan meski dengan banyak alat bukti dan permasalahan administratif internal penyidik. Seakan-akan hukum tidak memihak pada korban, yakni Ibu DP,” kata Dayat dalam keterangan wawancara setelah sidang.
Penyidik menghentikan kasus DP dengan alasan demi hukum. Dayat menjelaskan, dalam KUHAP, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) demi hukum hanya bisa dikeluarkan ketika terdakwa sudah diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada putusan hukumnya, atau ketika pelaku meninggal dunia, atau saat kasusnya kadaluarsa. dimana dalam kasus KDRT yang hukumannya 5 tahun penjara, masa kadaluarsanya ada 12 tahun setelah peristiwa pidana.
“Nah, anehnya kasus KDRT Bu DP dihentikan. Padahal terduga pelaku yaitu suaminya belum pernah diadili dan masih hidup juga, dan kasusnya baru 3 tahun lebih jadi belum kadaluarsa. Aneh banget kenapa hakim memutuskan tidak melanjutkan kasusnya,” jelas Dayat.
Selain melalui jalur hukum, LBH Apik Jakarta juga turut menggalang dukungan publik lewat petisi daring yang bisa diakses di www.change.org/dukungkorbankdrt tersebut. Dalam waktu seminggu saja, petisinya sudah didukung lebih dari 11 ribu tandatangan.
Dalam petisinya, Bu DP cerita ada keanehan dalam visum. Pada visum pertama hasilnya jelas menunjukkan ada luka bekas benda tumpul pada kepalanya dan anaknya mengalami demam dan sakit rahang yang membuatnya tidak sekolah selama 4 hari. Sementara dalam visum kedua, hasil visum Bu DP nihil meski saat itu Bu DP mengaku ada bekas luka dan bahkan sempat difoto oleh salah satu penyidik saat melapor ke Polsek Pulo Gadung.
“Saya berharap, untuk ke depan, tidak ada lagi korban seperti saya. Tidak ada lagi korban yg mengalami proses hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, di mana aparat penegak hukum menganggap tidak ada masalah. Padahal fakta dan bukti yang saya sampaikan sudah sangat jelas,” cerita DP dalam ketika diwawancarai setelah sidang praperadilan di PN Jaktim (23/06/2021).
Meski telah ditolak oleh PN Jakarta Timur, Dayat menegaskan kalau LBH Apik Jakarta akan terus membantu DP dan anaknya agar mendapat keadilan.
“Saat ini kami tengah menempuh jalur non Hukum, yaitu dengan audiensi ke lembaga-lembaga seperti Pokja Perempuan dan Anak, Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung RI, Kepala Polisi RI, Komisi Yudisial, Komisi III DPR RI, Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI Serta Kantor Staf Presiden,” tegas Dayat.
Ia jelaskan kalau LBH Apik bertujuan menyampaikan situasi hukum di Indonesia yang tidak berpihak pada Perempuan dan Anak Korban KDRT kepada lembaga-lembaga tersebut. Mereka juga mengharapkan dukungan dari lembaga-lembaga tersebut agar korban mendapatkan keadilan.
“Semoga ke depan ada perubahan yang signifikan utk melindungi perempuan dan anak Indonesia,” tutup DP dalam wawancara.
*Untuk mengetahui jumlah terakhir penandatangan petisi #dukungkorbankdrt klik di sini