Jangan Sepelekan Kesehatan Mental, Setiap Hari Ada 5 Orang Indonesia Bunuh Diri
Kesehatan mental masih menjadi suatu hal yang tabu di tengah masyarakat dan kerap diasosiasikan dengan “sakit jiwa”. Padahal, kesehatan mental melingkupi banyak aspek dan dengan tingkat kondisi yang berbeda-beda.
Terlebih lagi kondisi masyarakat semenjak pandemi turut terdampak. Pembatasan mobilitas, serta kondisi ekonomi yang memburuk menyebabkan sebagian masyarakat tanpa sadar mengalami gangguan kondisi kesehatan mental, seperti stres dan depresi.
Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Dr. Celestinus Eigya Munthe, saat ini sekitar 20% penduduk Indonesia memiliki potensi masalah gangguan jiwa. Artinya, 1 di antara 5 penduduk berisiko mengalaminya.
Di sisi lain, sarana pelayanan kesehatan mental masih terbatas, begitupun dengan sumber daya manusia profesional untuk tenaga kesehatan jiwa. Sampai saat ini jumlah psikiater baru mencapai angka 1.053 orang. Diperkirakan satu psikiater di Indonesia melayani sekitar 250.000 penduduk.
Gangguan mental saat pandemi
Plt. Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes dr. Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, kini masyarakat masih berjuang mengendalikan penyebaran virus Covid-19.
Namun demikian, di tengah masyarakat juga telah menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan jarak fisik dan hubungan sosial, serta ketidakpastian. Menurutnya hal-hal ini berdampak terhadap terjadinya peningkatan masalah dan gangguan kesehatan jiwa di masyarakat.
Lebih dari itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, menunjukkan lebih dari 19 juta penduduk yang berusia di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional, dan lebih dari 12 juta penduduk di atas usia 15 tahun mengalami depresi.
Dampak gangguan mental tersebut juga berbahaya bagi jiwa. Berdasarkan Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016, jumlah kasus bunuh diri mencapai 1.800 orang per tahun.
Artinya, setiap hari ada 5 orang yang melakukan bunuh diri. Sementara itu sebanyak 47,7% korban bunuh diri ini berusia rata-rata 10-39 tahun yang berarti merupakan usia anak remaja dan usia produktif.
Survei lain yang lebih terkini pernah juga dilakukan pada Mei 2021 oleh Yayasan Insan Teman Langit atau Into the Light bersama Change.org Indonesia. Dari total 5.211 responden, sebanyak 98% merasa kesepian dalam satu bulan terakhir.
Bahkan, 2 dari 5 responden merasa lebih baik mati dan ingin melukai diri dalam dua minggu terakhir. Hal ini membuktikan, masyarakat masuk perlu literasi tentang bunuh diri.
Pasalnya, sebanyak 86% responden menanggapi orang yang pernah terbesit untuk bunuh diri akan selalu berpikir dan berusaha melakukannya. Sekitar 66% partisipan menganggap bicara soal bunuh diri akan meningkatkan risiko bunuh diri. Padahal kedua penilaian tersebut tidak benar.
Mereka juga mengaku tak memilih mengakses layanan kesehatan. Mayoritas responden menyatakan faktor utamanya adalah ekonomi.
Andrian Liem, seorang peneliti mitra Into the Light, memaparkan yang paling tinggi tidak mampu membayar untuk mendapatkan bantuan psikoterapi atau konseling. Jadi, lanjut dia, ini persepsi bahwa mereka tidak mampu membayar.
Sementara itu, untuk akses ke layanan kesehatan mental, hanya 27% dari partisipan pernah mendapatkannya. Sekitar 7 dari 10 orang tidak tahu kalau layanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dapat menanggung biaya pengobatan kesehatan mental.
Padahal, untuk mendapatkan layanan tersebut, pasien cukup mendatangi fasilitas kesehatan tingkat pertama di tempat mereka mendaftar, dan selanjutnya akan mendapatkan pengarahan.
Kesimpulan dari riset tersebut adalah dibutuhkannya dukungan untuk menanggulangi rasa kesepian dan menghilangkan pemikiran bunuh diri di kalangan masyarakat dengan status ekonomi menengah ke bawah. Namun hal ini sebaiknya dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan relevansi budaya masing-masing kelompok.
Selain itu, masyarakat perlu diberi pengetahuan mengenai ketersediaan layanan kesehatan mental. Begitu pula pengetahuan tentang keamanan, kerahasiaan, dan etika lainnya bagi pasien yang menggunakan layanan kesehatan mental.
Stigma dan diskriminasi
Permasalahannya, masalah kesehatan jiwa di Indonesia juga terkendala stigma dan diskriminasi. Menurut pakar kesehatan mental, dr. Maxi, saat ini berbagai pihak sedang mengupayakan suatu edukasi kepada masyarakat dan tenaga profesional lainnya agar dapat menghilangkan stigma dan diskriminasi terhadap orang dengan gangguan jiwa
Hal ini juga, lanjutnya, mendorong pemerintah untuk memastikan bahwa kesehatan mental agar dapat lebih diprioritaskan dari sebelumnya. Pemerintah daerah harus menjadikan program dan pelayanan kesehatan jiwa dapat menjadi fokus perhatian, tentunya dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana terkait kesehatan jiwa yang memadai.
Dia juga mengimbau kepada masyarakat, agar menjaga kesehatan diri dan tetap patuh dan disiplin dengan protokol kesehatan agar tidak tertular Covid-19. Tak hanya itu, dr. Maxi menyarankan agar selalu menjaga kesehatan jiwa dengan mengelola stress dengan baik, menciptakan suasana yang aman, nyaman bagi seluruh anggota keluarga.
***
**
*
(Rizka M – Anggota Perempuan Indonesia Satu)