
Lewat URUB, Lakon Indonesia Berkolaborasi dengan Victor Clavelly di Panggung JF3 2025
Jakarta– Perhelatan JF3 Fashion Festival hadir di Summarecon Mall Serpong, akhir Juli 2025 lalu. Pagelaran busana ini semakin spesial dengan hadirnya koleksi persembahan LAKON. Lewat koleksi Urub, sebuah eksplorasi artistik yang menyatukan kekuatan alam, kearifan lokal, dan jiwa para pengrajin Nusantara tampil penuh filosofi.
Terinspirasi dari api yang menyala-nyala, “URUB” merepresentasikan semangat hidup yang tak pernah padam. Koleksi ini tidak hanya menampilkan busana, tetapi juga menceritakan kisah perjuangan dan keindahan budaya Indonesia melalui setiap jahitan dan motifnya.
“Kami ingin memberi ruang bagi pengrajin tradisional untuk bersinar. Setiap kain dalam koleksi ini adalah hasil dari kolaborasi penuh cinta dengan para maestro batik dan tenun,” ungkap Thresia Mareta, Pendiri LAKON Indonesia.
Thresia Mareta, Pendiri LAKON Indonesia mengatakan, kita hidup di era yang melaju cepat dan modern, penuh gemuruh kompetisi, dan haus akan konsumsi tanpa henti. Dalam hiruk-pikuk ini, manusia sering lupa; mengejar kebahagiaan yang tak berujung, menggenggam dunia tanpa jeda. Namun, tidakkah kita lupa bahwa kebahagiaan sejati bukanlah soal memiliki, melainkan memberi? ” ujarnya di Summarecon Mall Serpong, Tangerang.

Thresia Mareta, Founder LAKON Indonesia
Di balik harmoni kehidupan, ada cerita tentang pengorbanan. Bumi kita asri dan lestari bukan karena kerakusan, tetapi karena kerelaan makhluk hidup untuk menyerahkan sebagian dirinya, demi yang lebih besar. Seorang ibu bertaruh nyawa saat melahirkan. Seluruh hidupnya menjadi catatan tentang cinta yang tidak egois, tentang pengorbanan yang membangun kehidupan baru. Dalam dirinya, tersimpan pesan mendalam tentang altruisme, sebuah kodrat yang bersemayam di setiap gen makhluk hidup.
“Urub, dalam makna filosofisnya, adalah nyala besar yang menerangi. Dan seperti api yang menghangatkan serta membakar semangat, koleksi ini membawa pesan tentang hidup yang menyala, hidup yang menghidupi, hidup yang memberi terang bagi sesama. Setiap potongannya tidak sekadar busana, melainkan perjalanan batin yang lahir dari proses panjang, penuh pemikiran, cinta, dan pengorbanan para pengrajin batik,” paparnya.
“Inilah yang menjadi inti koleksi ini. URUB adalah nyala besar yang kami harap dapat menerangi. Setiap helai adalah hasil dari perjalanan panjang penuh pemikiran, dedikasi, dan cinta. Di dalamnya, ada kisah para pengrajin batik, pengorbanan dan seni mereka yang tak terukur nilainya,” imbuhnya.
Altruis atau Urub adalah refleksi cinta kami kepada Nusantara, sebuah dedikasi yang lahir dari semangat semesta. Kami mungkin belum bisa menjadi seperti seorang ibu, tetapi melalui kolaborasi dengan para pengrajin, kami ingin menyalakan cahaya bagi ekosistem budaya kain tradisional di Indonesia. Inilah harmoni antara tangan, hati, dan jiwa.
Tak hanya itu, ini menjadi ajang kolaborasi antara Lakon Indonesia dengan desainer muda berbakat asal Prancis, Victor Clavelly, dan seniman CGI, Héloïse Bouchot. Victor bukan nama asing di industri fashion internasional ia pernah bekerja sama dengan Rick Owens, FKA Twigs, hingga Beyoncé. Di JF3, ia mempersembahkan koleksi eksperimental bertajuk Les Fragments, yang menyuguhkan narasi modular dan skulptural melalui teknik 3D printing mutakhir.

Victor Clavelly di JF3 Fashion Festival Summarecon Mall Serpong
“Saya sangat senang bisa memperkenalkan karya saya untuk pertama kalinya di Asia, khususnya di Jakarta. Setelah bertahun-tahun mengembangkan praktik secara independen di Paris, saya membangun semesta karya yang menggabungkan siluet skulptural, 3D printing, dan storytelling lewat busana. Karya saya mengeksplorasi tema tentang anatomi, identitas, dan memori yang terfragmentasi, dan saya antusias untuk dialog baru dengan audiens di Jakarta,” ujar Victor Clavelly.
Victor juga menjelaskan bahwa koleksi Les Fragments membayangkan dunia pasca-antropocene, tempat tubuh-tubuh menjadi hibrida, disusun ulang, dan terus berevolusi di antara batas organik dan artifisial.
Menurut Thresia, kolaborasi lintas negara ini bukan soal siapa yang lebih baik, tapi bagaimana dua sudut pandang berbeda antara craftsmanship tradisional dan teknologi digital bisa saling menguatkan.