Biomassa Indonesia: Energi Hijau dari Hutan yang Dikelola Secara Legal dan Lestari

Biomassa Indonesia: Energi Hijau dari Hutan yang Dikelola Secara Legal dan Lestari

Jakarta– Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menegaskan komitmennya dalam menjaga kelestarian hutan Indonesia sekaligus memastikan industri biomassa, khususnya produk pelet kayu atau wood pellet, berjalan secara legal dan berkelanjutan. Hal ini karena semua produk hasil hutan kayu Indonesia sudah memenuhi Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) yang menjamin asal bahan baku legal dan diakui oleh pasar global.

Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan (BPPHH) Kementerian Kehutanan Erwan Sudaryanto mengatakan, Pemerintah memiliki komitmen kuat untuk terus menjalankan Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK). Sistem tersebut merupakan instrumen untuk memastikan bahwa seluruh produk hasil hutan dari hulu hingga hilir berasal dari sumber yang legal dan lestari. 

“SVLK memastikan semua hasil hutan diambil, diangkut, diproduksi, dan diperdagangkan dari sumber yang legal dan berkelanjutan sesuai hukum Indonesia. Sistem ini memiliki dasar hukum yang kuat, lembaga penilai independen, dan mekanisme check and balance. Kita harus bangga karena Indonesia satu-satunya negara yang memiliki SVLK,” kata Erwan dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Legal dan Lestari: Fakta di Balik Ekspor Biomassa Indonesia dalam Kerangka Komitmen Iklim Global” yang digelar oleh Asosiasi Produsen Biomassa Indonesia (APREBI) di Jakarta, Rabu (5/11). 

Acara FGD yang digelar APREBI ini juga dihadiri oleh sejumlah pihak yang bertindak sebagai panelis, diantarnya perwakilan dari mitra dagang internasional yakni Japan External Trade Organizational (JETRO), Korea Indonesia Forest Cooperation Center (KIFC), dan sejumlah perusahaan produsen biomassa diantaranya yakni PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) Group, PT Gorontalo Citra Lestari (GCL), dan PT Indika Indonesia Resources, serta sejumlah perwakilan dari Kementerian Kehutanan.

Sebagai produk hasil hutan, wood pellet juga harus memenuhi SVLK. Dengan memenuhi SVLK, produk wood pellet tersebut dijamin berasal dari sumber yang legal dan lestari. Sebab, SVLK tidak hanya memastikan legalitasnya, namun juga kelestariannya. Penegasan ini sekaligus membantah kampanye negatif yang diembuskan sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di bidang lingkungan yang menuding industri wood pellet di Indonesia telah mengakibatkan deforestasi. 

“Melalui SVLK, dipastikan lebih dulu legalitasnya yang kemudian memunculkan jaminan kelestarian, mulai dari memastikan izin yang sah dan sesuai regulasi. Kelestarian ini sudah diatur sejak Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (RKUPHHK). Hal ini menjadikan produk wood pellet asal Indonesia telah diakui oleh pasar Jepang, Korea, dan Uni Eropa sebagai bukti due diligence compliance,” imbuh Erwan. 

Kampanye Negatif   

Terkait kampanye negatif yang menuding industri wood pellet sebagai penyebab deforestasi, Erwan mengatakan, seluruh pihak harus memiliki definisi yang sama. Deforestasi berarti mengubah hutan menjadi non hutan. Di hutan tanaman industri (HTI), hutan memang ditebang. Namun, pada saat bersamaan, lahan tersebut kembali ditanami tanaman yang nantinya akan menjadi bahan baku produk wood pellet. 

Menurut Erwan, permasalahan deforestasi harus dilihat secara bijak dan adil. Sebagai negara berkembang, Indonesia masih membutuhkan sumber daya alam, dalam hal ini hutan, untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Kelestarian perlu tetap dijaga namun keseimbangan pembangunan juga diperlukan. 

“Dalam pengelolaan hutan, ada tiga aspek yakni kelola sosial, kelola lingkungan, dan kelola ekonomi. Semuanya harus seimbang. Ada lima pilar utama, yakni kepastian kawasan, kepastian usaha, kepastian hukum, kepastian sosial, dan sistem informasi. Ini untuk memastikan bahwa setiap kegiatan di kawasan hutan legal dan berkelanjutan,” tegas Erwan. 

Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, pada tahun 2024, total produksi wood pellet Indonesia mencapai 333.971 meter kubik (m3). Jumlah tersebut meningkat hingga tiga kali lipat dibandingkan jumlah produksi pada 2020 yang sebesar 103.356 m3. 

Hingga saat ini, jumlah industri wood pellet di Indonesia sebanyak 35 unit dengan rata-rata produksi secara akumulatif pada periode 2020-2024 sebesar 199.525 m3 per tahun. Kapasitas lisensi produksi pelet kayu di Indonesia sebesar 3,18 juta m3 per tahun. Secara geografis, Provinsi Gorontalo saat ini tercatat sebagai produsen terbesar wood pellet di Indonesia dengan pangsa mencapai 29,96% disusul Jawa Timur dengan pangsa sebesar 23,08%. 

Dari sisi kinerja perdagangan, ekspor wood pellet dari Indonesia juga meningkat signifikan. Pada 2024, ekspor wood pellet dari Indonesia mencapai US$40,3 juta. Jumlah tersebut naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan nilai ekspor wood pellet pada 2023 yang sebesar US$14,74 juta.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Energi Biomassa Indonesia (APREBI) Dikki Akhmar mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama membangun industri biomassa dan menjaga keberlanjutan hutan di Tanah Air. Sebagai sumber energi terbarukan, produk biomassa seperti pelet kayu atau wood pellet memiliki peran penting dalam upaya global menekan emisi karbon sekaligus dalam Upaya meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. 

Sebagai negara berkembang, Dikki mengatakan, Indonesia masih membutuhkan sumber daya alam untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Hutan, sebagai salah satu sumber daya alam, bukan cuma dibutuhkan sebagai paru-paru dunia namun juga sebagai sumber penghidupan masyarakat. Karena itu, hutan perlu dikembangkan untuk kebutuhan ekonomi tanpa melanggar etika lingkungan. Salah satunya melalui pengembangan hutan tanaman industri (HTI) untuk kayu energi yang menjadi sumber bahan baku wood pellet. 

“Semua perusahaan pelet kayu telah berkomitmen untuk menjaga keberlanjutan produksi pelet kayu dengan menyiapkan hutan tanaman industri, tidak bergantung pada deforestasi. Mereka telah berinvestasi triliunan rupiah sehingga tidak mau di tengah jalan terganggu dengan masalah-masalah akibat deforestasi” ujar Dikki dalam forum yang sama. 

Dikki menambahkan, SVLK merupakan program pemanfaatan hutan terbaik di seluruh dunia. Dengan adanya SVLK, ada jaminan bahwa produk wood pellet mulai dari hulu hingga hilir, mulai dari bahan baku, produksi, hingga transportasi, seluruhnya mengikuti prinsip keberlanjutan dan sesuai dengan ketentuan hukum di Indonesia. 

Menurut Dikki, kampanye negatif terhadap industri wood pellet di Indonesia akan berdampak negatif. Pada gilirannya, kampanye tersebut akan menjadi bencana bagi masyarakat, pemerintah, maupun bagi masa depan dunia yang lebih hijau. 

“Manfaat biomassa melalui industri wood pellet akan menjadi sumber energi hijau bagi dunia, menyelamatkan masa depan anak-anak dan menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih hijau. Namun, diperlukan kerja sama dan komitmen yang baik antara produsen, pemerintah, dan LSM lingkungan untuk menjaga kelestarian hutan,” tegas Dikki. 

Dikki menyatakan apa yang dilakukan LSM lingkungan terhadap industri wood pellet Indonesia sudah mengarah pada tindakan provokatif dan intimidatif kepada para buyer wood pellet di Jepang maupun Korea Selatan. Para LSM ini telah menyampaikan informasi yang menyesatkan.

“APREBI melihat apa yang dilakukan oleh LSM-LSM ini sudah terlalu jauh dan tidak menghormati legalitas yang telah diberikan oleh pemerintah kepada Industri wood pellet di Indonesia khususnya di Gorontalo. Sebagai asosiasi, saya tidak akan tinggal diam dan akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan bila LSM-LSM itu tidak berhenti melakukan provokasi dan intimidasi dengan berita bohong,” kata Dikki.

Ketua Masyarakat Energi Biomassa Indonesia (MEBI) Milton Pakpahan mengatakan, masa depan energi biomassa di Indonesia sangat menjanjikan. Sebab, Indonesia memiliki 10,36 juta hektare lahan potensial untuk pengembangan HTI dan hutan tanaman energi (HTE). Lahan yang luas tersebut harus dimanfaatkan untuk mendukung energi hijau nasional. 

Milton juga mendorong adanya revisi kebijakan harga biomassa agar lebih kompetitif dan mendorong investasi baru. “Kita tidak bisa berjalan seperti biasa. Pemerintah harus lebih dinamis dalam melihat peluang biomassa sebagai energi masa depan,” katanya.

Spread the love

Related post