Perempuan-perempuan Tangguh Penakluk Tantangan di Dunia Diplomasi Indonesia
Dulu, dunia diplomasi terkenal sebagai dunia yang didominasi oleh laki-laki. Bahkan, ada yang menjulukinya “dunia kaum pria”. Namun, kini tren yang terjadi justru sebaliknya. Sejak 10 tahun belakangan, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) lebih banyak menerima pegawai dan calon diplomat perempuan dibandingkan laki-laki. Data ini dibeberkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Lestari Priansari Marsudi.
Retno pernah mengatakan, dilansir oleh Tribun News, bahwa sebanyak 64 persen Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Kemlu pada 2020 merupakan perempuan dan 38 persen di antaranya merupakan diplomat. Kondisi ini berbeda jauh dengan saat ia baru mulai meniti karir menjadi diplomat. Saat itu, jumlah diplomat perempuan hanya 10 persen.
Kehebatan diplomat perempuan telah terbukti dalam beberapa kesempatan. Misalnya, Retno Marsudi berhasil menjadi Menteri Luar Negeri perempuan pertama di Indonesia dan berhasil terpilih pada dua periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Selama menjabat sebagai Menteri, ia telah mengukir prestasi di tingkat nasional dan global. Termasuk mengantarkan Indonesia sebagai Anggota Dewan Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) periode 2019-2020. Juga menjadikan Indonesia sebagai Anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB periode 2020-2022.
Terbaru, Retno terpilih menjadi salah satu dari tiga pemimpin distribusi vaksin dunia. Dalam mengurus diplomasi vaksin ini, Retno didukung oleh tim di kementeriannya yang anggotanya mayoritas juga perempuan.
Apabila membicarakan kiprah perempuan di dunia diplomasi, maka tak lengkap bila tidak berkisah tentang sosok yang menjadi diplomat perempuan pertama di Indonesia. Sosok itu bernama Laili Roesad. Laili adalah perempuan Sumatera Barat pertama yang meraih gelar Sarjana Hukum.
Laili memulai karier di Kementerian Luar Negeri pada 1949. Sepanjang kariernya, ia pernah menjadi anggota delegasi Indonesia di sidang umum PBB, menjabat sebagai Deputi Wakil Tetap PBB, serta menjadi duta besar di tiga negara (Inggris, Belgia, dan Austria). Bahkan, ia pernah menerima bintang tanda jasa dari pemerintah Belgia dan Luxembourg.
Contoh lainnya, ada Nara Rakhmatia yang juga telah membuktikan kemampuannya sebagai diplomat muda di dunia internasional. Beberapa waktu lalu, wanita berusia 38 tahun ini menjadi wakil Indonesia di Sidang Umum PBB. Dalam sidang tersebut, Nara menarik perhatian publik karena keberaniannya dalam merespons kritik dari enam delegasi negara-negara Kepulauan Pasifik.
Melalui pidatonya, Nara menjawab tudingan-tudingan yang dilemparkan keenam delegasi tersebut tentang pelanggaran HAM di Papua Barat. Secara tegas, ia mengatakan bahwa tudingan tersebut justru menggambarkan kurangnya pemahaman para delegasi-delegasi itu mengenai sejarah dan perkembangan dari permasalahan di Papua.
Tetap penuh tantangan
Meskipun dunia diplomasi kini mulai didominasi perempuan dan kian banyak diplomat perempuan yang menorehkan prestasi cemerlang, bukan berarti anggapan bahwa dunia diplomasi berkaitan erat dengan laki-laki hilang begitu saja. Karena itu, Laili Roesad mengingatkan bahwa perempuan harus berhati-hati dalam bertindak di dunia diplomasi. Menurutnya, di bidang yang terkenal sebagai “dunia kaum pria” itu hal-hal yang dianggap wajar bila dilakukan pria dapat dianggap lain apabila oleh dilakukan perempuan
Tantangan lain yang kerap dihadapi diplomat perempuan adalah menyeimbangkan peran sebagai wanita karier dan sebagai seorang ibu. Masih banyak yang beranggapan bahwa tugas wanita menjadi seorang ibu dapat menghalangi mereka untuk berkarier secara maksimal.
Seiring dengan pemikiran Laili Roesad, Retno Marsudi juga pernah menyatakan, diplomat bekerja tanpa ada batasan waktu dan ruang. Mereka selama 24 jam 7 hari harus selalu siap bertugas. Hal ini digandengkan dengan peran perempuan, yaitu tanggung jawab pada anak dan keluarga, sering kali dianggap tidak cocok. Padahal, belum tentu.
Walaupun begitu, ia mengakui bahwaberkarir menjadi seorang diplomat sekaligus menjalani peran sebagai ibu memang tidak mudah. Hal ini pun pernah ia jalani ketika baru berkarier sebagai diplomat dan memiliki anak-anak yang masih kecil. Setiap hari, ia tetap menyempatkan diri untuk mengurus anak-anaknya sebelum berangkat kerja. Mulai dari memandikan, mengurus makanan, hingga mengantar anak-anaknya ke sekolah.
Mantan Duta Besar Indonesia di Belanda ini telah membuktikan bahwa menyeimbangkan peran sebagai wanita karir dan sebagai ibu bukanlah hal yang mustahil. Karena itu, Retno terus memberi keyakinan kepada calon diplomat perempuan muda bahwa mereka juga bisa melakukan hal yang sama seperti dirinya.
Retno yakin bahwa perpaduan tugas perempuan pada keluarga dan karier itu bisa dilakukan. Harus diakui memang ada tantangan berat di depan, tetapi bukan berarti semuanya tidak bisa dijalankan.
***
Penulis: Sitiasthina; Anggota Gerakan Perempuan Satu