Sederet Alasan Mengapa Surga Ada di Telapak Kaki Ibu
PUAN.CO.ID – Perempuan sejak dulu memang memiliki energi luar biasa yang mampu mengerjakan banyak hal untuk orang lain, berkorban untuk keluarga, hingga mengerjakan pekerjaan tanpa upah atas dasar kasih sayang. Tak salah jika dikatakan bahwa “surga ada di bawah telapak kaki ibu”.
Perempuan kini tak hanya mengemban tugas-tugas domestik, seperti mengurus rumah dan keluarga, tetapi juga bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Salah satu contoh nyata adalah Murni, seorang pekerja Dinas Kehutanan yang dengan penuh semangat masih bekerja ketika usia kandungannya sudah memasuki kehamilan 8 bulan.
Perempuan berusia 26 tahun itu tetap gigih membersihkan tanaman hias di kolong Jembatan Taman Ria, Senayan, Jakarta. Pandemi Covid-19 ataupun kondisinya yang tengah hamil tua tak menjadi penghalang Murni untuk lanjut bekerja.
Padahal, bekerja di tengah pandemi dan saat hamil ini mungkin tak selalu mudah untuk dijalani, terlebih dirinya harus selalu dalam kondisi sehat, produktif, dan nyaman selama bekerja.
Dalam kesehariannya, Murni bersama teman-temannya, memiliki pekerjaan yang luar biasa yakni membersihkan seluruh tanaman hias yang berada di kawasan Taman Ria, Senayan, Jakarta.
Umumnya saat hamil, perempuan akan lebih cepat kelelahan. Apalagi ketika sudah masuk trimester ketiga atau usia kehamilan lebih dari 28 minggu. Beberapa perempuan kerap merasa semakin tidak nyaman karena sudah mendekati tanggal jatuh tempo kelahiran.
Namun itu semua tak menghentikan langkah Murni. Dalam sehari dia tetap bekerja selama 8 jam untuk membersihkan tanaman hias, menjaganya tetap elok dipandang, menghiasi jalanan kota Jakarta.
Risiko ibu hamil
Tak dipungkiri, perempuan yang tengah mengandung anak memiliki sejumlah risiko ketika memilih untuk tetap bekerja. Studi yang diunggah dalam jurnal BMC Pregnancy and Childbirth tahun 2014 mengungkapkan hal ini.
Riset tersebut meneliti sejumlah perempuan hamil di Jepang yang bekerja lebih dari 40 jam setiap minggu. Hasil temuannya memaparkan bahwa partisipan tersebut berisiko mengalami keguguran dan persalinan prematur terlebih pada trimester pertama.
Sementara itu, studi lain dalam jurnal Occupational & Environmental Medicine tahun 2019 mengungkapkan hal yang hampir sama. Riset ini meneliti ibu hamil di Denmark yang bekerja dengan sistem shift malam.
Penelitian tersebut menemukan, perempuan hamil yang bekerja setidaknya dua shift malam dalam seminggu memiliki tingkat risiko keguguran lebih tinggi, yaitu sebesar 32%, dibandingkan yang bekerja pada siang hari.
Hingga kini, perkara hamil, melahirkan, dan mengambil cuti hamil memang masih jadi sebuah dilema bagi perempuan. Di Indonesia, meski telah diatur dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hak cuti hamil tak berlaku bagi pekerja perempuan di sektor informal atau pekerja paruh waktu.
Padahal, cuti hamil dan melahirkan adalah hak perempuan. International Labour Organization (ILO) menetapkan standar cuti hamil selama minimal 14 minggu dan memberikan rekomendasi kepada negara-negara anggota untuk meningkatkan periodenya hingga setidaknya 18 minggu.
Dalam “Maternity and Paternity at Work: Law and Practice Across The World”, ILO menyebutkan jangka waktu ini jadi penting bagi perempuan untuk memulihkan diri dari proses melahirkan dan dapat kembali bekerja dengan tetap dapat memberikan perhatian kepada anaknya.
Selepas cuti hamil pun, perempuan kerap dihadapkan hanya pada dua pilihan, yaitu kembali bekerja dan mesti menanggung beban domestik sekaligus atau fokus pada kerja domestik dan kehilangan karier.
Studi PBB berjudul “Men in Families and Family Policy in the Changing World” (2011) yang dilakukan di sejumlah negara berkembang menemukan fakta bahwa rata-rata waktu yang dihabiskan perempuan untuk melakukan kerja-kerja tak dibayar mencapai dua kali lipat lebih banyak dibandingkan laki-laki. Di India dan negara-negara berpendapatan rendah lainnya, waktu yang dihabiskan perempuan bisa mencapai 10 kali lebih besar.
Tuntutan pekerjaan domestik yang masih berat pasca melahirkan yang dialami perempuan semakin menimbulkan dilema. Di satu sisi, perempuan merasa berkewajiban penuh terhadap pengasuhan anak dan urusan domestik. Di sisi lain, perempuan diharuskan bekerja membantu ekonomi keluarga.
Survei FlexJobs pada 2019 terhadap 2.000 perempuan menemukan bahwa 71% perempuan memutuskan atau mempertimbangkan untuk mengundurkan diri setelah punya anak karena kurangnya fleksibilitas di tempat kerja.
Sebanyak 31% perempuan yang telah mengambil jeda dari pekerjaannya untuk mengurus anak pun punya keinginan untuk kembali bekerja sekaligus melaporkan bahwa pekerjaan mereka tidak cukup fleksibel.
Work-life balance (82%), opsi kerja fleksibel (78%), dan jadwal jam kerja (77%) juga menempati posisi lebih atas dibandingkan gaji (76%) sebagai pertimbangan utama perempuan memilih pekerjaan setelah memiliki anak.
Selama tak memiliki supporting system yang mendukungnya menjalankan peran ganda, perempuan tidak akan mampu menjalankan semua peran dengan baik. Yang terjadi, perempuan bisa saja mengalami depresi yang berkelanjutan yang justru berakibat buruk bagi anak, suami, dan keluarganya.