“Lingkaran Setan” Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan dan Anak
Perempuan dan anak-anak masih yang paling rentan menjadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Sederet kasus menjadi bukti, masih terdapat setumpuk pekerjaan rumah dalam memberikan perlindungan kepada mereka. Pemerintah dan masyarakat harus berbagi peran untuk menyelesaikannya secara tuntas sampai ke akarnya.
Ketua Umum Pengurus Pusat Srikandi Tenaga Pembangunan Sriwijaya (Srikandi TP Sriwijaya), Nyimas Aliah memaparkan kasus-kasus memilukan yang menimpa perempuan dan anak.
Salah satu faktor yang menurutnya melatarbelakangi kasus kekerasan terhadap perempuan, adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hak-hak perempuan dan belum memahami dengan baik isi dari Undang-Undang KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga).
“Pelan-pelan nanti perempuan mulai paham. Masih banyak yang tidak paham bahwa hak-haknya itu dilindungi. Undang-undang KDRT tahu, tapi isinya misalnya dia sendiri jadi korban dia tidak paham kalau dia itu korban,” kata Nyimas dalam wawancara, Selasa (19/10/2021).
Dia menceritakan kasus yang terjadi kepada tetangga dari salah satu temannya. Perempuan tersebut sering mendapat kekerasan dari suaminya. Hal serupa dilakukan juga kepada anaknya.
“Kalau suaminya pulang itu pasti mukul dua anak kembarnya (usia) SMA sampai anaknya itu stress. Yang satu masuk rumah sakit jiwa, yang satu (lagi) ini melapor ke tetangga,” tutur Nyimas.
Namun apa mau dikata, laporannya hanya menjadi buih di lautan lantaran perempuan tersebut selalu membela suaminya. Dia bahkan melarang sang anak untuk melapor ke polisi.
“Pernah katanya ibunya itu lari tapi balik lagi. Nah di situ perempuan itu tidak paham bahwa hanya dilindungi. Seorang korban kadang dia merasa bahwa dirinya yang salah, dia yang salah,” ujar dia.
“Makin sering mengalami kekerasan otaknya makin tumpul. Nah, pelaku makin gemas makin ingin melakukan yang lebih hebat lagi makanya banyak terjadi pembunuhan,” lanjut Nyimas.
Seperti lingkaran setan
Tak banyak orang paham bagaimana merespon kejadian kekerasan di lingkungan mereka. Partisipasi masyarakat sebenarnya sangat penting, bahkan tertuang secara hukum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012.
“Jadi peran daripada masyarakat itu adalah mencegah, kemudian melaporkan. Kalau di undang-undang KDRT itu ada di pasal 15 barangsiapa melihat, mendengar, mengetahui terjadinya kekerasan harus melaporkan. Sebetulnya lebih kuat lagi, bagi yang tidak melaporkan itu bisa kena sanksi juga,” ucap Nyimas.
Sayangnya yang terjadi di tengah masyarakat, banyak orang urung melaporkan tindakan kekerasan yang terjadi di lingkungan sekitar karena merasa tindakan tersebut percuma.
“Nanti dia mesra-mesra lagi. Kenapa dia mesra lagi, karena si istri ini kan ketergantungan kepada suami secara ekonomi. Jadi walaupun hatinya masih sakit,” ujar dia.
Biasanya, lanjut Nyimas, pelaku kekerasan memiliki lingkaran periode, dari masa bulan madu akan kembali berlanjut menuju kekerasan. “Dia sayang-sayang lagi, minta maaf dia nangis-nangis udah perempuan lupa, tetangganya enggak mau bilang udah biarin aja,” tuturnya.
Perjuangan mencari keadilan
Nyimas menilai, perjuangan kaum perempuan di Indonesia sudah sangat maksimal dan tidak pernah berhenti, terutama terkait korban kekerasan dan pemerkosaan. Menurutnya, hal yang sangat sulit adalah keharusan menghadirkan dua saksi
“Saksi kunci seperti ada yang melihat, tapikan kalau orang perkosa tidak mungkin ada yang melihat. Nah ini perjuangan kaum perempuan dan pengiat-pengiat perempuan mengubah pasal-pasal itu,” ucapnya.
Dia pun menyebut tentang pro kontra RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Saat ini di dalamnya terdapat aturan bahwa perempuan yang diperkosa wajib melalui interogasi berkali-kali.
“Ketika dia bicaranya berubah-ubah akhirnya polisi menyimpulkan bahwa dia bikin karangan. Padahal dia itu kan trauma. Dia tidak boleh diwawancara berulang-ulang. Rekaman yang pertama itu sudah cukup, dia harus didampingi,” papar Nyimas.
Dia pun menyadari, hukum di Tanah Air masih belum berpihak kepada perempuan. Untuk menghadirkan saksi ahli saja harus melalui perjuangan yang berat.
“Karena kasus perkosaan ini ada cara pandang menganggap bahwa suka sama suka, kenapa kamu nggak menjerit, kenapa kamu enggak melawan. Bayangkan si korban harus menjawab semua persoalan itu hanya dia berhenti tidak mau menjawab,” dia menjelaskan.
Korban tersebut memilih tidak menjawab karena dia sudah dianggap dirinya lah yang bersalah. Hal ini, menurut Nyimas, yang menyebabkan perlunya pendampingan bagi korban untuk menguatkan dan memulihkan rasa percaya diri.
Bagaimana mengatasinya
Pertama, Nyimas menekankan bahwa laki-laki wajib menghargai perempuan sebagai manusia, dan bukan merupakan warga kelas dua. Namun, yang menjadi kekhawatiran saat ini adalah meluasnya pornografi di platform media sosial.
“tu ya ampun pecandu-pecandu porno itu dikatakan oleh siapa tuh ahli pornografi kata ibu Seroja, jadi dia bilang bahwa orang yang candu pornografi membuat otak sarafnya jadi kempot, jadi dia setiap melihat orang itu pikirannya seks, nafsu,” kata Nyimas.
Terlebih lagi lagi, dia menilai undang-undang pornografi di Indonesia masih lemah. Dari segi definisi pun belum mendapat kesepakatan yang utuh.
“Kemarin definisinya itu orang yang memamerkan tubuh segala macam dianggap melanggar pornografi. Nah, sedangkan di Bali orang pakai baju seenaknya. Jadi memang perdebatannya belum selesai,” ujar Nyimas.
Dia pun menyebut bahwa negara harus hadir sepenuhnya untuk memberdayakan perempuan, sekaligus melindungi anak demi mencapai Indonesia yang maju.
“Karena 80% yang diurus di negara kita itu adalah perempuan dan anak. Jumlah yang besar ini adalah potensi dan aset bangsa tapi bisa terjadi sebaliknya manakala pemerintah tidak membuka ruang-ruang itu, tidak diberdayakan dan tidak dilindungi,” ucap Nyimas.
Seharusnya, lanjutnya, semua anak Indonesia harus dianggap anak kita sendiri. Dengan demikian, ketika melihat anak-anak yang mengalami kekerasan atau penelantaran, masyarakat juga berhak melindungi.
“Kita tidak mentolerir apapun bentuk kekerasan dan itu harus dilakukan perempuan harus dilindungi dan harus mendapatkan akses keadilan,” tegas Nyimas.
***
(Siti Asthina – Senior CommDev Kinanti Consultant)